Friday, January 29, 2016

Aksi Bakar Diri Biarawan Buddha di Saigon


Waktu: 11 Juni 1963
Tempat: Saigon, Vietnam Selatan
Fotografer: Malcolm Browne

Selasa siang, 11 Juni 1963. Lalu-lintas di Kota Saigon, ibukota Vietnam Selatan, sedang ramai-ramainya. Pada perempatan Jalan Phan Dinh Phung dan Le Van Duyet, ratusan biksu berjajar di sekitar perempatan. Sebuah mobil sedan biru mendadak berhenti. Dari dalam mobil seorang biksu melangkah keluar menuju tengah perempatan, diikuti oleh dua orang biksu lainnya. Salah seorang biksu pengikut meletakkan bantalan di tengah perempatan sedang yang satunya lagi mengeluarkan lima jerigen dari dalam bagasi mobil.

Sesampainya di tengah perempatan, biksu yang pertama, belakangan diketahui bernama Thich Quang Duc, duduk dengan mengambil posisi lotus tradisional, posisi bersila dalam bertapa. Dua biksu pengikut menuangkan isi jerigen yang ternyata adalah bensin ke sekujur tubuh biksu yang duduk tersebut.

“Nam Mo A Di Da Phat…,” terdengar biksu tersebut sejenak berdoa. Berikutnya, dengan tenang dia menggoreskan korek api dan membakar tubuhnya.

Api seketika membakar sekujur tubuh biksu tersebut. Luar biasa, sedikitpun tubuhnya tak bergerak dan sama sekali tak terdengar suara mengerang apalagi menjerit kesakitan! Sungguh bertolak belakang dengan keadaan di sekelilingnya yang hiruk pikuk oleh kegaduhan dan suara ratapan orang-orang yang menyaksikannya. 

Polisi yang berada di sekitar lokasi mencoba mengendalikan situasi, namun gagal karena blokade lingkaran yang dibuat oleh ratusan biksu lainnya. Salah seorang biksu terus-menerus berteriak: “Seorang Biksu Buddhis membakar diri. Seorang biksu Buddhis menjadi martir!!!”

Thich Quang Duc adalah seorang biksu Buddha Ramayana. Apa yang dilakukannya adalah ritual Self-Immolation atau pengorbanan diri sendiri. Itu dilakukannya sebagai protes terhadap rezim Ngo Dinh Diem yang kerap membantai dan menyiksa biksu-biksu

Dalam pesan terakhirnya, yang disampaikan melalui sebuah surat, Thich Quang Duc berujar: “Sebelum aku menutup mata dan mendekatkan diriku kepada Buddha, dengan penuh rasa hormat aku meminta kepada Ngo Dinh Diem untuk menunjukkan sedikit rasa belas kasih kepada rakyatmu dan memberlakukan kesamaan agama untuk mempertahankan kesatuan negeri ini. Aku juga memanggil saudara-saudara dalam se-dhamma untuk melakukan pengorbanan dalam rangka melindungi Buddhisme."

Apa yang dilakukan oleh Thich Quang Duc bukanlah kejadian yang tiba-tiba, melainkan sebuah tindakan yang telah direncanakan sebelumnya. Terbukti, sehari sebelum aksi tersebut juru bicara umat Buddha di kota itu telah menyampaikan pesan kepada koresponden-koresponden Amerika yang banyak terdapat di sana (catatan: pada waktu itu tengah berlangsung invasi Amerika Serikat ke Vietnam sehingga banyak wartawan negara adidaya tersebut yang berada di Vietnam untuk meliput jalannya perang). Isinya mengatakan bahwa akan terjadi “sesuatu yang penting” esok hari di jalan di depan Kedubes Kamboja. Namun, karena persoalan umat Buddha sudah menjadi krisis sejak beberapa bulan sebelumnya, tak banyak wartawan yang menanggapi pesan tersebut.

Meskipun aksi tersebut telah merenggut nyawa Thich Quang Duc, namun Presiden Ngo Dinh Diem, sebagai sasaran aksi protes, menanggapi dengan dingin aksi tersebut. Dia bahkan mengeluarkan pernyataan yang menyebut Thich Quang Duc dalam keadaan mabuk obat-obatan sebelum dipaksa melakukan aksi bakar diri! Komentar lebih sinis datang dari adik ipar Dinh Diem - yang saat itu dianggap sebagai Lady First karena Dinh Diem adalah bujangan. Wanita tersebut berkomentar: “clap hands at seeing another monk barbecue show" (mari bertepuk tangan untuk acara memanggang biarawan lainnya).

Namun, pada saat kejadian, dua orang reporter New York Times yaitu Malcolm Browne dan David Halberstam datang ke lokasi untuk meliput kejadian. Publikasi besar-besaran terhadap peristiwa tersebut menarik perhatian dunia internasional. Dilengkapi dengan foto Malcolm Browne yang mengabadikan momen saat tubuh Thich Quang Duc terbakar, David Halberstam antara lain menulis: "Aku mengamati lagi, tetapi sekali saja sudah cukup. Api itu datang dari manusia; tubuhnya perlahan layu dan mengerut ke atas, kepalanya menghitam dan menjadi arang. Di udara tercium bau daging manusia terbakar; seorang manusia secara mengejutkan terbakar dengan cepat. Dibelakangku, aku bisa mendengar isak para warga Vietnam yang sekarang berkumpul. Aku terlalu shock untuk menangis, terlalu bingung untuk mencatat atau mengajukan pertanyaan, dan terlalu bingung untuk berpikir … Ketika ia terbakar, ia tidak pernah bergerak sedikitpun, tidak mengucapkan suara, dilakukan dengan ketenangan luar biasa, menjadi kontras dengan ratapan orang-orang di sekelilingnya."

Simpati terhadap biksu-biksu Buddha dan tekanan terhadap rezim Ngo Dinh Diem pun berdatangan dari segala penjuru dunia, sementara Malcolm Browne dan David Halberstam mendapat Penghargaan Pulitzer, penghargaan tertinggi untuk bidang jurnalisme cetak di AS.




Sumber :
http://www.kaskus.co.id/thread/512f607ddb9248c203000016/rezim-diem-mendiskriminasi-kaum-buddha-biksu-thich-quang-duc-bakar-diri/

No comments:

Post a Comment